Sumba: dari Pantai Eksotis hingga Kuda Poni

pesona-bukit-warinding-10_169

Jakarta –
Sumba merupakan pulau kecil di bagian selatan Indonesia yang bisa dijangkau menggunakan pesawat dengan durasi penerbangan sekitar satu hingga dua jam dari Bali. Pada 2022, Sumba dinobatkan sebagai salah satu destinasi wisata terbaik dalam kategori destinasi outdoor oleh majalah travel terkenal New York, Conde Nest Traveller.

Sumba terkenal dengan keindahan pantai nan eksotis seperti pantai Nihiwatu, Mandorak, Mananga Aba, Walakiri, Rotenggaro, air terjun Tanggedu dan Lapopu, sabana hijau dan kecoklatan yang hanya banyak ditemui di Sumba bagian timur, hingga wisata budaya seperti Pasola dan upacara Nyale. Selain hal-hal tersebut, berikut beberapa informasi yang wajib Anda ketahui tentang Sumba sebelum Anda kunjungi.

Kepercayaan Asli Masyarakat

Sebelum agama Kristen dan Katolik dibawa masuk oleh misionaris Belanda pada 1889, masyarakat Sumba menganut kepercayaan Marapu. Marapu berasal dari dua kata yaitu “ma” (yang) dan “rappu” (tidak disebut, satu, pamali, sakral, tersembunyi). Istilah ini mengacu pada suatu entitas/pribadi tak terlihat yang dipercaya mendiami nirwana atau surga. Entitas tersebut sering disebut oleh masyarakat melalui istilah Ma Bakul Wua Mata (Yang Maha Melihat), Ma Mbalar Kahilu (Yang Maha Mendengar).

Selain percaya pada satu entitas tunggal, kepercayaan ini juga bersifat animisme yaitu percaya dan memuja roh nenek moyang yang sudah naik ke Marapu (nirwana) yang sewaktu-waktu akan turun ke bumi jika dipanggil melalui sebuah upacara adat (hamayangu). Pada konteks sehari-hari, istilah Marapu bisa mengacu pada nama kepercayaan, Tuhan Yang Maha Esa, maupun tempat roh berpulang atau nirwana.
Rumah Adat

Ciri khas dari rumah adat Sumba ialah tinggi menjulang dengan atap menggunakan alang-alang. Nama rumah adat ini ialah Uma Mbatangu dan Uma Bokulu/Bakalu. Dari dua nama tersebut, terdapat perbedaan dalam hal konstruksi dan fungsi. Uma Batangu memiliki konstruksi yang lebih tinggi mencapai 30 meter karena memiliki menara yang menjulang. Keberadaan menara inilah yang membuat rumah ini disebut Uma Mbatangu karena mbatangu/batangu berarti menara dalam bahasa daerah.

Dari segi fungsi, Uma Mbatangu banyak dipakai untuk upacara-upacara adat seperti sembahyang atau pemujaan pada Marapu maupun roh nenek moyang. Fungsi ini membuat rumah jenis ini tidak untuk ditinggali karena dibangun hanya untuk tujuan pemujaan atau sembahyang serta menyimpan benda-benda berharga atau pusaka seperti emas, kain-kain berharga, dan benda lain yang memang merupakan milik Marapu. Namun pada kebanyakan rumah yang ditemui, kamar-kamar kecil dibangun di sekeliling serambi rumah. Kamar-kamar kecil ini ditinggali oleh keluarga yang memang dikhususkan untuk menjaga dan merawat rumah ini beserta isinya.

Hal ini berbeda dengan Uma Bokulu/Bakalu yang secara konstruksi tidak memiliki menara atau atapnya berbentuk limas seperti pada kebanyakan rumah. Dari segi fungsi, rumah ini dibangun untuk ditinggali oleh keluarga-keluarga dari satu garis keturunan.

Secara umum, rumah adat di Sumba dibangun menggunakan material kayu dan alang-alang serta tidak memiliki jendela. Rumah terbagi dalam tiga bagian atau level. Bagian bawah atau kolong rumah dikhususkan untuk hewan ternak seperti ayam, babi, dan kambing. Pada bagian kedua untuk ditinggali manusia untuk melakukan berbagai aktivitas. Pada bagian ketiga atau menara, tempat menyimpan benda-benda pusaka milik Marapu. Bagian ini disakralkan dan tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang. Hanya pemuka-pemuka adat atau pendoa yang bisa memasuki bagian ini melalui upacara adat serta pengorbanan hewan ternak seperti ayam, babi, maupun kuda.
Pembagian Kasta di Masyarakat

Secara sosial, masyarakat di Sumba terbagi dalam tiga strata. Strata tertinggi merupakan golongan bangsawan yang disebut maramba. Golongan ini memiliki posisi sebagai raja atau pemimpin kampung, suku, maupun kabihu (marga). Masyarakat dari golongan ini mudah dikenali melalui penggunaan gelar rambu (untuk perempuan) dan umbu (untuk laki-laki). Penggunaan kata rambu maupun umbu pada nama biasanya disematkan di kata pertama maupun kata kedua. Misalnya Rambu Nai Kahi atau Ronaldy Umbu Wulla.

Strata kedua disebut kabihu (orang merdeka). Pada konteks percakapan sehari-hari, kata kabihu bisa mengacu pada kata “marga”. Golongan kedua ini posisinya berada di bawah bangsawan (maramba) yang bertugas untuk membantu raja dalam pengambilan berbagai keputusan dan tidak memiliki ikatan terhadap golongan bangsawan. Golongan ini tidak menggunakan gelar rambu maupun umbu pada nama, biasanya menggunakan nama kebanyakan yang mengandung unsur bahasa daerah. Masyarakat dari golongan ini bisa menikah dengan golongan bangsawan serta anak dari hasil perkawinan bisa mendapatkan gelar rambu maupun umbu.

Strata ketiga disebut ata (hamba/budak). Golongan ini memiliki keterikatan terhadap tuannya (maramba). Keterikatan ini mengharuskan mereka untuk melayani tuannya seumur hidup. Tugas mereka meliputi mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga (untuk ata perempuan) serta berkebun dan beternak (untuk ata laki-laki). Strata ini terbagi lagi dalam dua golongan yaitu hamba belian (ata pakei) dan hamba bawaan (ata ngandi). Hamba belian biasanya dibeli dengan sejumlah uang atau hewan ternak dari keluarga bangsawan lain yang bertujuan untuk mempererat hubungan keluarga atau marga. Sedangkan hamba bawaan biasanya diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan bangsawan yang akan menikah. Hamba ini harus mengabdi kepada tuan dan nyonyanya seumur hidupnya.
Penghasil Kayu Cendana

Pulau Sumba juga dikenal dengan sebutan Pulau Sandelwood karena merupakan penghasil kayu cendana terbesar selain Pulau Timor. Pohon cendana merupakan tanaman endemik pulau ini yang tumbuh secara bebas di hutan-hutan kering berbatu yang dikelilingi sabana. Sebutan Sandelwood ini sematkan oleh pemerintah kolonial Belanda yang sudah masuk ke Sumba untuk mengambil pasokan kayu cendana sejak abad ke-16. Perdagangan kayu cendana sebenarnya telah berlangsung sejak abad ke-14 ketika pedagang India dan Cina mencapai pulau ini untuk membeli kayu cendana secara barter.

Pada zaman itu, kayu cendana dari Sumba dibarter dengan gading gajah, porselen, kain sutra, dan batu berharga seperti permata dan emas dari India dan Cina. Popularitas kayu cendana mulai meredup semenjak kolonial Belanda mengeksploitasi besar-besaran kayu cendana dari pulau Sumba. Eksploitasi ini menyebabkan cendana masuk dalam kategori pohon yang hampir punah dan dilindungi di Sumba.

Kuda Sandel

Sumba juga terkenal dengan kuda yang berukuran kecil yang disebut dengan kuda Sandelwood Pony. Sebutan ini tentu berkaitan dengan kayu cendana atau kayu sandelwood yang dulunya tumbuh subur di pulau ini. Kuda sandel merupakan hewan endemik dari pulau yang memiliki postur yang pendek sekitar 130-142 cm. Meskipun pendek, kuda ini memiliki stamina yang tahan lama untuk membawa beban barang maupun orang. Selain itu, kuda ini juga memiliki kecepatan yang gesit sehingga sangat cocok untuk dijadikan kuda pacuan yang akan berlaga pada lomba balapan kuda yang sering diakan di Sumba

Baca artikel detiknews, “Sumba: dari Pantai Eksotis hingga Kuda Poni” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-7266288/sumba-dari-pantai-eksotis-hingga-kuda-poni.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/